Selasa, 20 Juli 2010

KONSEP DASAR SEHAT SAKIT DALAM KONTEKS PATOFISIOLOGI

1. KONSEP KEADAAN NORMAL

Kata "normal" adalah salah satu kata yang paling banyak digunakan dalam hidup sehari-hari. Secara umum, kata "normal" digunakan untuk menggambarkan secara kualitatif suatu keadaan yang sesuai harapan, sesuai ukuran rata-rata, sesuai standar dan sebagainya. Tetapi bila kata ini diterapkan untuk maksud menjelaskan status kesehatan, maka arti kata normal dan tidak normal akan jauh lebih kompleks.

Sehat dan sakit bukanlah suatu keadaan statis tetapi merupakan suatu rentang dinamis yang menempatkan status sehat dan status sakit pada kedua ujung spektrum yang berlawanan. Dengan demikian, keadaan yang "benar-benar sehat" dapat dengan mudah dibedakan secara tegas dari keadaan yang "benar-benar sakit". Tetapi di antara dua keadaan yang tegas ini terdapat area "abu-abu" yang terbentang luas sehingga sulit ditunjukkan batas tegas di mana status sehat berakhir dan status sakit dimulai ataupun sebaliknya (Gambar 1 dan Gambar 2).

Gambar 1. Rentang sehat-sakit

Gambar 2. Spektrum keadaan seorang anak gizi buruk sampai sehat.

Parameter yang paling sering digunakan untuk menetapkan normalitas suatu variabel adalah nilai rata-rata yang diperoleh setelah mengukur variasi nilai dari sampel representatif (dapat mewakili populasi). Berat badan, tinggi badan, tekanan darah, kadar glukosa darah dan sebagainya merupakan contoh variabel-variabel yang normalitasnya ditetapkan berdasarkan nilai rata-rata populasi (Gambar 3).


Gambar 3. Berat badan dan tinggi badan berdasarkan nilai rata-rata.

Kenyataannya, penyimpangan nilai rata-rata tidak serta merta dapat ditetapkan sebagai keadaan yang tidak normal. Beberapa argumen yang diajukan sebagai keberatan terhadap penggunaan metode statistik ini adalah:
  1. Setiap individu adalah unik dalam susunan genetiknya, sehingga di dunia ini tidak ada dua individu sekalipun yang dapat mencapai kesamaan yang tepat 100%, kecuali kembar identik yang berasal dari satu telur (Gambar 4).
  2. Setiap individu memiliki perbedaan dalam pengalaman hidup dan interaksinya dengan lingkungan.
  3. Pada setiap individu terdapat fluktuasi nilai-nilai normal suatu variabel karena adanya mekanisme pengendalian fisiologis tubuh terhadap setiap perubahan internal maupun ekternal. Umpamanya, konsentrasi glukosa darah pada seseorang yang sehat akan berbeda secara bermakna pada berbagai waktu dalam sehari, bergantung pada asupan makanan, kegiatan-kegiatan orang itu dan sebagainya. Variasi ini umumnya terjadi dalam batas tertentu. Situasi ini dapat dianalogkan dengan ruangan yang suhunya diatur oleh termostat, suhu dalam ruangan tersebut dapat sedikit turun di bawah suhu yang diinginkan sebelum terdetek­si oleh termostat. Kemudian tindakan korektif yang dicetuskan oleh termostat itu dapat sedikit melebihi batas suhu yang diinginkan, sebelum masukan panas terhenti. Memang variasi dalam suhu badan semacam itu terjadi pada semua orang, meskipun dalam keadaan normal.
  4. Variasi nilai hasil pengukuran dapat terjadi karena kesalahan atau ketidakcermatan dalam proses pengukuran.

Gambar 4. Variasi unik individu normal.

Karena pertimbangan-pertimbangan di atas, maka menetapkan batas-batas variasi yang nor­mal dari sebuah nilai rata-rata merupakan masalah yang rumit. Kerumitan ini berkaitan dengan hal-hal seperti mengetahui derajat osilasi fisio­logis dari pengukuran tertentu, yang bertanggung jawab atas derajat variasi di antara orang-orang normal meskipun dalam keadaan basal dan kecermatan metode pengukurannya.

Kemudian, arti biologis data hasil pengukuran itu harus dipertimbangkan. Jadi jelaslah bahwa pengukuran­-pengukuran, pengamatan atau hasil-hasil laboratorium tunggal yang kelihatannya menunjukkan kelainan harus selalu dinilai dalam konteks diri individu secara keseluruhan. Pembacaan tung­gal adanya tekanan darah yang meningkat tidak berarti seseorang itu menderita hipertensi; pe­ningkatan glukosa darah yang ringan tidak menggolongkan seseorang sebagai penderita diabetes; dan nilai tunggal hemoglobin yang lebih rendah dari rata-rata tidak mesti menunjukkan adanya anemia. Untuk menempatkan semua pertimbangan­-pertimbangan di atas sebagaimana mestinya, maka konsep tentang keadaan nor­mal dan bahkan penyakit, biasanya didasarkan pada kesepakatan para ahli dalam suatu bidang dan dipengaruhi oleh nilai­nilai kebudayaan maupun oleh kenyataan-­kenyataan biologis. Umpamanya, pada kebuda­yaan modern suatu cacat sistem saraf pusat yang menyebabkan ketidakmampuan membaca yang bermakna merupakan kelainan, sedangkan cacat yang sama itu tidak akan pernah diperhatikan dalam kebudayaan primitif. Lagi pula, sifat yang mungkin rata-rata dan dengan demikian dianggap normal dalam suatu populasi mungkin dianggap jelas abnormal dalam populasi lainnya.

Gambar 5. Proses menua, normal atau abnormal?

2. KONSEP TENTANG PENYAKIT

Penyakit dapat didefinisikan sebagai peru­bahan dalam diri individu yang menyebabkan parameter kesehatan mereka berubah di luar batas-batas normal. Tolok ukur biologis yang paling berguna dari batas-batas normal ini berkaitan dengan kemampuan individu untuk mempertahankan lingkungan internal yang tetap homeostasis. Semua sel dalam tubuh membutuhkan sejumlah oksigen dan zat makanan tertentu bagi kelan­jutan hidup dan fungsi mereka dan juga memer­lukan lingkungan yang menghasilkan hal-hal seperti batas-batas suhu yang sempit, kandung­an air, keasaman, juga keadaan internal yang tetap itu merupakan ciri penting dari tubuh yang normal. Jika beberapa dari struktur dan fungsi tubuh menyimpang dari normal sampai suatu keadaan di mana keadaan tetap ini dirusak atau terancam atau bahwa individu tidak dapat lebih lama lagi memenuhi tantangan lingkungan, maka dikatakan ada penyakit. Persepsi subyektif seseorang tentang penyakit dihubungkan de­ngan kegagalan dari kemampuan untuk mela­kukan kegiatan sehari-hari dengan nyaman.

Gambar 6. Normal dan abnormal pada tingkat sel.

Unsur penting lain dalam konsep penyakit adalah bahwa penyakit bukanlah bentuk perkembangan kehidupan baru, tetapi lebih merupakan perluasan atau distorsi dari proses-proses kehi­dupan normal yang ada pada individu (Gambar 6). Bahkan pada kasus penyakit yang jelas menular, agen menular itu sendiri bukan merupakan penyakit itu, tetapi hanya berperan menimbulkan perubahan-perubahan pada subyek yang akhirnya diwujudkan sebagai penyakit. Jadi, penyakit sebenarnya adalah se­jumlah proses fisiologis yang sudah berubah. Agar dapat memahami, mengobati dan merawat penyakit itu secara memadai, maka terapis harus memahami proses normal yang berubah, sifat gangguan dan akibat sekunder dari gangguan yang terjadi.

Di luar konteks biologis, banyak juga pandangan lain tentang penyakit yang dipengaruhi oleh faktor budaya. Misalnya, anggapan bahwa penyakit merupakan bentuk kehidupan baru, semacam pendudukan tubuh oleh suatu zat, roh atau mahluk gaib dari luar. Untuk itu, upaya terapi yang dianggap sesuai adalah pengusiran agar roh jahat keluar dari tubuh pasien. Di Indonesia, pandangan tentang penyakit dan upaya terapi semacam ini masih dianut oleh sebagian penduduk, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Dalam berbagai variasi, dianggap bahwa sebagian penyakit murni masalah medis dan sebagian lainnya merupakan penyakit non medis (guna-guna, kerasukan, kesambet, dsb.)

Tema lain yang penting ditekankan adalah bahwa pe­nyakit harus dipandang dari perspektif penderita, sungguh-sunguh hanya dirasakan oleh penderita. Terapis boleh jadi turut meringis melihat penderita kesakitan, tetapi seberapa parah derajat nyeri tersebut, hanya dirasakan oleh penderita saja. Demikian pula, penyakit-penyakit yang dianggap semata-mata merupakan perubahan morfologis dan fungsi tubuh, sedikit banyaknya akan mempengaruhi keseimbangan psikologis, sosial dan spiritual penderita. Karena itu, perawat diharapkan dapat menunjukkan empati, ketulusan dan pemahaman yang luas tentang sehat-sakit dalam hidup manusia.

3. INTRODUKSI PATOFISIOLOGI

3.1 Pengertian Patofisiologi

Secara harfiah, patofisiologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari fungsi tubuh dalam keadaan sakit atau keadaan patologis. Dengan kata lain, patofisiologi menjelaskan perubahan fisiologis yang ditimbulkan oleh penyakit. Patofisiologi menjelaskan berbagai tingkatan penyimpangan fungsi tubuh (sel, jaringan, organ, sistem) dan konsekuensi klinisnya serta berupaya memberikan jawaban mengapa dan bagaimana penyimpangan tersebut dapat terjadi.

3.2 Perbandingan Patofisiologi dengan Fisiologi dan Patologi

Untuk lebih memahami patofisiologi, berikut dijelaskan secara singkat perbandingannya dengan fisiologi dan patologi:
  1. Fisiologi adalah ilmu yang mempelajari fungsi tubuh dalam keadaan normal. Fisiologi menjelaskan bagaimana setiap bagian tubuh dalam berbagai sistem bekerjasama secara harmonis untuk mempertahankan keadaan lingkungan internal yang homeostasis. Sebagai contoh, sistem gastrointesti­nal untuk mencerna dan menyerap makanan, sistem pernapasan untuk mengambil O2 dan mengeluarkan CO2, sistem perkemihan untuk membuang zat sisa; sistem kardiovaskular untuk mendistribusikan makanan, O2, dan produk-produk metabolisme; sistem reproduksi untuk memperbanyak spesies; dan sistem saraf serta endokrin untuk mengkoordinasikan dan mengintegrasikan fungsi­-fungsi sistem lain.
  2. Patologi adalah ilmu tentang penyakit, lebih berfokus pada upaya mengidentifikasi perubahan morfologis tubuh (organ, jaringan, sel) untuk kepentingan diagnosis penyakit. Sebagai ilmu dasar (teoritis), patologi dapat diartikan sebagai biologi abnormal. Dalam konteks ilmu kedokteran, patologi telah berkembang sebagai spesialisasi kedokteran klinis (ilmu terapan, praktis). Spesialis patologi anatomi (termasuk patologi bedah, sitopatologi, patologi otopsi) melibatkan diri pada studi laboratorium dan metode lainnya dengan mempelajari sampel yang berasal dari jaringan, darah dan cairan tubuh lainnya, menilai perubahan morfologis sel dan jaringan baik dari individu yang masih hidup maupun yang telah mati. Spesialis patologi klinik (termasuk kimia klinis, mikrobiologi, hematologi, imunologi dan imunohematologi) mempelajari perubahan-perubahan biokimiawi, identifikasi agen mikrobiologis penyebab penyakit, perubahan sel-sel darah dan cairan tubuh lainnya, perubahan imunologis dan sebagainya untuk kepentingan diagnosis dan terapi penyakit. Perbandingan antara fokus kajian Fisiologi, Patologi dan Patofisiologi, secara skematis dilukiskan pada Gambar 7.


Gambar 7. Anatomi-Fisiologi membahas struktur dan fungsi tubuh dalam keadaan normal, Patologi mempelajari perubahan morfologis sel/jaringan pada penyakit dan Patofisiologi befokus pada perubahan fungsi yang terjadi akibat penyakit.

3.3 Obyek Studi Patofisiologi

1) Etiologi

Etiologi secara umum didefinisikan sebagai penetapan sebab atau alasan timbulnya suatu fenomena. Suatu penjelasan tentang etiologi penyakit mencakup pula identifikasi faktor-faktor yang menimbulkan penyakit tersebut. Dengan demi­kian, maka basil tuberkulosis itu ditunjuk sebagai agen etiologi dari tuberkulosis. Faktor-faktor etiologi lain dalam perkembangan tuberkulosis yang mempengaruhi jalannya infeksi itu mencakup umur, keadaan gizi dan bahkan pekerjaan orang itu. Cukup penting untuk menyebut lagi, bahwa dalam kasus penyakit menular seperti tuberkulosis, agen itu sendiri tidak merupakan penyakit. Respon tubuh terhadap agen itu dan semua proses biologis yang ab­normal bersama-sama merupakan penyakit.

Dalam etiologi penyakit tertentu, banyak sekali faktor-faktor ekstrinsik atau eksogen dalam lingkungan yang harus dipertimbangkan bersama-­sama dengan berbagai sifat intrinsik atau endogen dari individu. Interaksi antara faktor ekstrinsik dan faktor intrinsik pada timbulnya suatu penyakit dijelaskan pada pokok bahasan lain dalam kuliah tersendiri, tetapi penjelasan singkat tentang keduanya diuraikan pada bagian berikut.

a. Faktor Ekstrinsik Penyakit
Beberapa penyebab penting penyakit pada manusia adalah agen infeksi, trauma mekanis, bahan kimia beracun, radiasi, suhu yang ekstrim, masalah gizi dan stres psikologik. Walaupun faktor ekstrinsik ini merupakan pe­nyebab penting dari kesengsaraan manusia, tetapi pandangan tentang penyakit yang hanya memperhitungkan faktor-faktor ini tidaklah leng­kap. Penyakit sesungguhnya merupakan bagian dari hidup individu yang sakit, karena itu harus juga dipertimbangkan mekanisme respon intrinsik dari individu tersebut dan semua proses biologis yang terpengaruh oleh agen ekstrinsik tertentu.

b. Faktor Intrinsik Penyakit
Banyak sifat individu yang merupakan faktor intrinsik penyakit, karena sifat-sifat ter­sebut mempunyai dampak yang penting pada perubahan berbagai keadaan pada individu. Umur, jenis kelamin, dan kelainan-kelainan yang didapatkan dari perjalanan penyakit sebelumnya adalah faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam patogenesis penyakit. Demikian pula keadaan genetik atau genom individu juga meru­pakan bagian esensial dari penyebab penyakit. Sifat anatomik hospes, ber­bagai macam mekanisme fisiologis kehidupan sehari-hari, dan cara memberikan respons ter­hadap cedera semuanya ditentukan oleh infor­masi genetik yang terkumpul pada saat konsepsi. Dalam mempelajari sifat biologi penyakit, maka faktor keturunan dan lingkungan selalu harus diperhatikan.

c. Spektrum Interaksi Faktor Ekstrinsik dan Intrinsik Penyakit
Kita sering mendengar pertanyaan, "Apakah penyakit ini menurun?" Dalam beberapa hal, pertanyaan tersebut tidak sepenuhnya tepat. Faktor intrinsik ham­pir selalu terlibat dalam setiap penyakit. Karena itu sebaiknya pertanyaan tersebut diungkapkan sebagai berikut, "Sampai seberapa jauhkah keterlibatan faktor keturunan pada penyakit ini?" Pe­ngecualian dari prinsip ini relatif sedikit dan cukup ekstrim. Harus diakui, bahwa keturunan tidak mempunyai arti penting jika penderita terkena ledakan bom atau jika ia ditabrak oleh truk yang ber­jalan melampaui batas kecepatan maksimum; tetapi, dengan mengesampingkan kejadian-keja­dian semacam itu, keturunan selalu merupakan faktor yang turut berperan dalam setiap penyakit. Bahkan pada penyakit infeksi yang jelas penyebabnya eksogen, faktor genetik dapat mempengaruhi kepekaan terhadap agen yang menular tersebut dan terhadap pola penyakit yang ditimbulkannya.

Dengan memperhatikan keseimbangan relatif antara keturunan dan lingkungan sebagai penyebab timbulnya penyakit, terdapat spektrum jenis penyakit yang terbentang lebar. Pada ujung yang satu dari spektrum itu terdapat penyakit-penyakit yang terutama diten­tukan oleh beberapa agen lingkungan terlepas dari latar belakang keturunan individu, sedang­kan pada ujung yang lain terdapat penyakit-pe­nyakit yang merupakan akibat dari perencanaan susunan genetik yang salah. Penyakit-penyakit yang terakhir ini mencakup apa yang biasanya disebut sebagai penyakit keturunan, penyakit yang ditunjukkan oleh hampir setiap orang pembawa informasi genetik yang salah tanpa mengindahkan pengaruh ekstrinsik. Hampir semua penyakit pada manusia berada di antara kedua ujung spektrum ini dan kedua faktor tersebut, baik fak­tor genetik maupun faktor ekstrinsik, saling mempengaruhi secara bermakna.

2) Patogenesis

Patogenesis penyakit menguraikan tentang proses perkem­bangan atau evolusi penyakit. Untuk melanjutkan contoh di atas, maka suatu penjelasan atas patogenesis tuberkulosis akan menunjukkan me­kanisme dengan jalan bagaimana basil tuberkulosis akhirnya membawa kelainan-kelainan yang dite­mukan.

Analisa patogenesis semacam itu akan me­ngaitkan proliferasi dan penyebaran basil-basil tuberkulosis, respon peradangan yang timbul, pertahanan imunologis dari tu­buh dan pengrusakan sel-sel dan jaring­an-jaringan yang sebenarnya. Pola dan taraf kerusakan jaringan akhirnya akan dikaitkan de­ngan manifestasi klinis penyakit tersebut.

Penyelidikan patogenesis juga memperhitung­kan rangkaian peristiwa fenomena tertentu dan aspek-aspek waktu timbulnya penyakit. Yang ha­rus dipatuhi dalam pendekatan ini adalah dugaan bahwa penyakit biasanya bukan suatu pe­ristiwa yang statis, tetapi lebih merupakan gejala dinamis dengan irama dan riwayat alamiah ter­sendiri. Untuk penilaian diagnostik, terapi dan asuhan keperawatan, riwayat alamiah dan derajat variasi di antara berbagai penyakit harus menjadi patokan. Beberapa penyakit mempunyai awitan yang cepat, se­dangkan yang lain mempunyai gejala prodromal yang lama. Beberapa penyakit bersifat dapat sembuh sendiri (dapat sembuh secara spontan dalam waktu yang singkat), yang lainnya berlangsung kronik. Beberapa penyakit lain bersifat sembuh dan kambuh secara berulang.

Jika mempertimbangkan jumlah seluruh pe­nyakit pada manusia, maka banyaknya faktor etiologi dan banyaknya penyakit yang disebut secara terpisah akan tiada habisnya. Tetapi walaupun banyak penyakit yang berlainan dengan riwayat alamiah yang khas, situasi itu tidaklah sesulit yang ditunjukkan oleh banyaknya semata-mata. Respon mekanisme badan itu terbatas. Karena itu, maka penyakit A berbeda dari penyakit B, sebab ia agak berbeda dalam hal mekanisme respon atau meka­nisme patogenetik yang berlelainan. Jadi, pema­haman sejumlah mekanisme patogenetik dan evolusinya memungkinkan pemahaman sejum­lah penyakit yang kelihatannya berbeda.

3) Manifestasi Penyakit

Pada awal perkembangan suatu penyakit, agen atau agen-agen etiologi dapat membangkit­kan sejumlah perubahan proses biologis yang dapat dideteksi dengan analisa laboratorium walaupun perubahan-perubahan tersebut belum dirasakan oleh penderita. Banyak penyakit mempunyai stadium subklinis yang demikian ini, di mana fungsi penderita masih dalam keadaan normal walaupun proses penyakit itu sudah ditemukan. Penting untuk diketahui, bahwa struk­tur dan fungsi dari banyak organ memiliki kapasitas cadangan fungsional yang besar, sehingga gangguan fungsi hanya dapat menjadi jelas jika penyakit itu secara anatomis sudah menjadi lan­jut. Umpamanya, penyakit ginjal kronik dapat merusak satu ginjal seluruhnya dan merusak sebagian ginjal yang lain, sebelum gejala apapun yang berkaitan dengan menurunnya fungsi ginjal dapat dirasakan. Sebaliknya, beberapa penyakit tampaknya mulai sebagai gangguan fungsional dan segera menimbulkan manifestasi klinis walaupun pada waktu itu tidak dapat dideteksi kelainan-kelainan anatomis. Keadaan sakit semacam itu akhirnya dapat mengakibatkan kelainan struktur se­kunder.

Bila proses biologis tertentu tergang­gu, penderita mulai merasakan sesuatu yang tidak beres. Perasaan subyektif ini disebut gejala penyakit. Per definisi, gejala adalah subyektif dan hanya dapat dilaporkan oleh penderita kepada pe­ngamat. Namun, jika menifestasi penyakit secara obyektif menyangkut penyimpangan yang dapat diidentifikasi oleh pengamat, maka ini disebut tanda-tanda penyakit. Nausea, rasa tidak enak, dan rasa sakit adalah gejala, sedangkan demam, kulit yang memerah, dan adanya massa yang dapat diraba adalah tanda penyakit.

Suatu peru­bahan struktur yang dapat ditunjukkan, yang di­timbulkan dalam perkembangan penyakit disebut sebagai lesi. Lesi dapat jelas diamati secara makroskopis atau mikroskopis. Akibat suatu penyakit kadang-­kadang disebut sequel (jamaknya: sequelae). Umpamanya, sekuel dari proses peradangan dalam jaringan biasa dapat merupakan parut da­lam jaringan itu. Sekuel dari peradangan re­matik akut pada jantung mungkin merupakan parut, katup jantung yang berubah bentuknya.

Pada banyak jenis penyakit dapat berkembang keadaan yang disebut komplikasi. Komplikasi penyakit adalah proses baru atau proses terpisah yang dapat timbul sekunder karena beberapa perubahan yang dihasilkan oleh keadaan aslinya. Umpamanya, pneumonia bak­teri dapat merupakan komplikasi infeksi virus pada saluran pernapasan. Untungnya, banyak penyakit dapat juga mengalami apa yang dinamakan resolusi, dan hospes dapat kembali pada suatu keadaan normal sama sekali, tanpa sekuel atau komplikasi. Resolusi dapat terjadi secara spontan karena kerja dari sistem pertahanan tubuh, atau dapat merupakan akibat dari pengobatan yang berhasil. Akhirnya, adalah penting menekankan kem­bali bahwa penyakit adalah dinamis bukan statis. Manifestasi penyakit pada penderita tertentu dapat berubah setiap saat bila keseimbangan biologis bergeser dan bila mekanisme kompen­sasi bekerja. Pengaruh lingkungan yang terjadi pada penderita juga akan mempengaruhi penya­kit. Karena itu, tiap penyakit mempunyai batas manifestasi dan spektrum perwujudan yang da­pat berbeda pada penderita yang satu dan penderita lainnya.

3.4 Kedudukan Patofisiologi dalam Ilmu Keperawatan

Pengetahuan yang luas dan mendalam tentang perubahan fungsi tubuh dalam keadaan sakit sangat relevan dengan obyek studi ilmu keperawatan, yakni membantu klien yang mengalami berbagai tingkatan ketergantungan pemenuhan kebutuhan yang kebanyakan disebabkan oleh terganggunya fungsi dalam melaksanakan aktivitas hidup sehari-hari akibat sakit. Patofisiologi memperkaya dan memperkuat kerangka dasar ilmu keperawatan khususnya dalam menjelaskan bagaimana penyakit mengakibatkan terjadinya berbagai penyimpangan kebutuhan dasar manusia.

Gambar 8. Hubungan Patofisiologi dan Proses Keperawatan

Pengetahuan tentang patofisiologi penyakit secara umum dapat meningkatkan kemampuan perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan klien dalam hal-hal sebagai berikut:
  1. Mengarahkan perawat untuk memfokuskan pengkajian data kesehatan klien
  2. Meningkatkan kemampuan analisa data untuk menetapkan diagnosa keperawatan
  3. Meningkatkan kemampuan perawat untuk menyusun rencana keperawatan (tujuan dan rasionalisasi tindakan keperawatan)
  4. Meningkatkan efektivitas pelaksanaan tindakan keperawatan
  5. Meningkatkan kemampuan perawat dalam menilai kemajuan status kesehatan klien.

Perluasan dan pendalaman pengetahuan mahasiswa calon perawat tentang mekanisme patofisiologis berbagai jenis penyakit dan asuhan keperawatannya akan diperoleh pada proses pembelajaran semester-semester selanjutnya dalam berbagai mata kuliah, antara lain sebagai berikut:
  1. Pemeriksaan Fisik, membahas teknik pemeriksaan tubuh dari ujung rambut ke telapak kaki untuk mencari berbagai tanda yang lazim ditemukan serta gejala-gejala yang menyertainya.
  2. Keperawatan Maternitas, membahas mekanisme reproduksi normal-abnormal, baik pada masa ante-natal, intra-natal maupun pasca-natal.
  3. Keperawatan Anak, membahas proses normal-abnormal tumbuh-kembang dan berbagai gangguan kesehatan yang lazim terjadi pada anak.
  4. Keperawatan Medikal Bedah, membahas berbagai gangguan fungsi tubuh akibat penyakit pada orang dewasa
  5. Keperawatan Gerontik, membahas proses perubahan normal-abnormal yang terkait dengan proses menua (aging proces)
Mata kuliah Patofisiologi sendiri diberikan selama 3 semester dengan bobot 6 SKS. Dalam mata kuliah ini akan dibahas berbagai teori tentang perubahan fungsi tubuh pada berbagai kelainan yang lazim terjadi.

---------- AKA ----------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar